Rabu, 01 September 2010
Perjanjian-Perjanjian Rindu yang Kita Sepakati Sebelum Perpisahan Tiba Menghampiri
Jangan teteskan airmata di pagi hari
Embunlah penguasa di kelembaban pagi. Hingga
airmata sungguh tak layak harus mengalir koyakkan
kelopak kelopak bunga taman hati. Bukankah kenyataan
senantisa memupuskan asa tak berarti ? Jika rindu
butuh genangan, kunjungilah lembah kenangan yang
menyajikan warna warni kemulianc erita tanpa derita.
2/
Jangan sebut nama lebih dari tiga kali di siang hari
Bukan sekedar mitos yangl oloskan keraguan. Tapi tak
ada maknanya nama kita desahkan bermuatan resah
Bukankah kepastians elalu terpatri pada satu impian
hakikii? Jika rindu perlu nama disebut, pergilah ke
tebing harapan yang membimbing bayang bayang
berpendar jelas di garis garis cahaya masa lalu.
3/
Jangan pernah titip salam di sore hari
Burung camar terlalu letih arungi samudera. Kepak
sayapnya hanya kibaskan senyap yang dibenci
keceriaan sore. Bukankah keadaaan tak selamanya
sesuai keinginan ? Jika rindu butuh salam, terbanglah
ke gunung renungan yang menerima tegur sapa dan
mencatatnya di gulungan gulungan tua penuh petuah.
4/
Jangan melukis bayangan di senja hari
Siluet senja setia menyeret kejujuran. Menampakkannya
jelas di halus bebutir pasir. Bukankah keyakinan terkadang
selalu dipertentangkan ? Jika rindu harus terbingkai,
ziarahilah awan dermawan yang menyediakan lembayung
paling anggun untuk nuansa pemandangan tak biasa.
5/
Jangan tulis diari di malam hari
Biarkan lembaran itu tetap putih. Demi leluasanya
kehadiran bulan dan bintang jaga semua kerahasian
bahasa rindu. Lalu kelam malam akan tenggelam di
balik jendela kamar. Bukankah kehampaan isyaratkan
kehancuran riuh yang tak perlu ? Jika rindu perlu
goresan, datangilah cadas ratapan yang menyerap
keluh kesah hingga tertinggal pasrah berserah.
O, rangkaian perjanjian ini
Bisakah membuat kita memahami ?
Jika perpisahan tak seharusnya mengijinkan rindu
mempertanyakan keampuhan cinta sejati.
Gorontalo, 18032010.
Senin, 30 Agustus 2010
Kita Ketahuan Memelihara Cinta yang Keterlaluan
Aku :
padahal pagi-pagi sudah kukumpulkan embun di rerumputan hijau.
kusimpan mereka di lembar-lembar puisiku agar bening cinta kita
selamanya hening bersanding disetiap larik dan bait
begitupun saat siang datang dengan teriknya
walau berpeluh sekujur tubuh kuikat semua bayang-bayang yang
selalu sudi memperlihatkan hitam putih cinta kita
kuseret mereka sembunyi di alunan lagu-lagu
agar lebih berwarna kala harus mengalun dengan indah bersama nada-nada
dan di malam yang hadir dengan pekat yang rajin mendekat
kupetik bintang-bintang yang tersisa di langit gelap
kupijarkan mereka dalam untaian doa-doa
biar suluh cinta kita tak berubah luruh hingga akhirnya meredam padam
#2
Kau :
sejak kemarin sangat rajin kau kumpulkan daun-daun kering yang berguguran
meski musim gugur tak hadir sesuai penanggalan yang diatur
kau bakar mereka diruang-ruang kalbu yang sering kelabu dan berabu
hari inipun tak lagi kau menghitung waktu yang terus saja berdengung
semangatmu tetap nyala dalam menyalin jejak-jejak yang telah terjejal
dengan rapih kau susun mereka di rak-rak jantung; tempat kau gantungkan juga
nurani yang dengan berani kau pindahkan dari hati
dan untuk esok yang kan menjelang telah kau persiapkan segudang asa
akan pergi kau di ufuk yang hilang untuk bilang kepada bidadari-bidadari
“ jangan dulu pergi mandi meski pelangi hadir dengan wangi yang baru ”
karena untuk sementara wangi pelangi hanya akan berpendar di lingkaran cinta kita
#3
Kita :
kemudian kita bertemu : kemarin, hari ini dan esok di tiap nama-nama waktu
entah pagi, bila siang dan juga malam menautkan semua rindu,
mempersatukan segala cinta, menamatkan seluruh gelora dalam kegilaan dan
keniscayaan yang tentu saja tak bisa diharapkan berjaya.
ah, mengapa semua puisiku, laguku dan doaku tak kembalikan kesadaran bahwa
memilikimu adalah mimpi-mimpi tertelan ilusi yang pergi jauh mengungsi dari nyata
pun kenapa daun-daun kering itu, jejak-jejak itu, bidadari-bidadari itu; semuanya
sepakat bisu tak menjawab tanyamu kenapa memilikiku bagaikan nyata yang hadir
dalam wujud mimpi-mimpi tertawan halusinasi
o, ini jelas nyata bukan lagi mimpi
kita ketahuan memelihara cinta yang keterlaluan
Gorontalo, 16 November 2009
Dini Hari. 03.30
Zero : Sekali Lagi Tentangmu
O, kau di mana ? Seruan berulang di balik awan, bergema di langit biru. Haruskah gerimis beku, mestikah angin diam ? Menyahutlah engkau dari arah mana saja. Arah yang tak perlu kutahu namanya. Indah jejakmu tak mudahkan aku melacaknya. Sudah berganti nama waktu, sudah henti kepakan sayap burung-burung kembali ke sarang, tak jua menyeruak sehuruf saja namamu dari kesunyian.
Ini tentangmu, bersama sekumpulan kenangan dan sederetan ingatan yang ingin kembali kurayakan. Senyata keindahan puisiku untukmu, kaupun sedemikian nyata hanya menjelma kabut di perjalanan hariku. Tak bisa kurengkuh, tak bisa kudekap lagi. Hanya bisa merasakan hadirmu di bait-bait puisiku.
Gerimis dan angin perlahan membeku. Debar rindu ini tak pernah berlaku. Ah, biarlah. Biar puisi saja yang hadirkan kembali kehangatanmu dalam pelukanku.
Gorontalo, 19082010.
Dua Perjumpaan
Perjumpaan dengan O
Tiba-tiba saja kau telah menjulang di sampingku. Mensejajarkan bayang, menautkan tayang. Jika yang sedang kulakukan ini adalah berlari, maka hanya angin yang aku cari. Kau serupa arah yang terpelihara pasti di setiap ujung telunjuk. Biarkan aku membujukmu, tuk jangan berpindah lagi. Pergi dalam bentuk lain yang pastinya susah tuk kukenali. Lihatlah, di kanan kiriku adalah kekosongan, di depan belakangku hanya kehampaan. Maka, kau sukalah selalu temani aku berlari, mengejar angin tuk menitip ingin. Jika letih benar-benar tunai, adakah bebunyian yang bisa kusemai ?
Tiba-tiba saja kau telah menjulang di sampingku. Dan punahlah sepiku.
2/
Perjumpaan dengan M
Aku tak perlu mengingat nama jalannya. Cukup kuseret saja sosokmu secepatnya mengejar takdir malam. Kita akan lunaskan kerinduan yang kian candu. Apa-apa yang sempat kita khayalkan sebelumnya adalah ilusi embun ujung senja. Kita akan sambungkan lagi rencana-rencana yang terpenggal di bait-bait sajak. Dan kita lacak segala jejak-jejak yang masih serupa janji. Kau tersenyum dan kulihat rembulan luruh. Betul adanya, kau ini adalah suruhan langit tuk sua aku si titipan bumi. Di titik malam, sempurna cahaya mengapit cinta kita yang telah bersemi.
Saat kembali pulang, jalan yang kita lalui benar-benar telah lenyap namanya. Hilang di ingatan kita yang mendadak hanya punya satu nama jalan : BAHAGIA .
Gorontalo, 12082010.
Masih Ada Pelangi di Langit Gorontalo, Uti !
Uti, telah seberapa jauh kau melangkah mencari wewarna hidup yang kemilau ? Sudah berapa musim kau gilir dengan airmata yang jatuh beribu bulir ? Di sana, di tanah baru yang kau pijak, jejakmu tak kunjung menjelma sajak kerinduan yang madu. Hanya sekilas ada andai mentari ramah bersinar, hanya senampak kelihatan bila rembulan bercahaya. Di sana, kau hanya memburu fatamorgana dari huru hara kehidupan fana yang rentan kehampaan.
Uti, masih ingatkah dataran lurus kota tercintamu ? Gorontalo masih hangat mendamba bayangmu, masih bara menanti dirimu kembali. Pematang-pematang sawah masih menghijau dan menguning sesuai musimnya. Gema adzan dari mesjid-mesjid masih berkumandang syahdu seperti biasanya. Di sini, di tanah kandung yang kau lupa, namamu sejak awal bersayap di bentang langit. Asa dan citamu berkilau di luas laut. Tak ada penggadaian cinta bagi derita yang akan datang menyapa. Kau dilindungi di sini, Uti, dengan lafal khusyuk doa orang-orang terkasih. Tiada tersisih mimpimu di ujung penghabisan subuh. Kesunyian adalah nuansa kehidupan paling ramah yang merapat di gundah gulanamu.
Uti, di sana menawarkan ilusi, di sini menyodorkan pasti. Andai hanya wewarna baru yang kau cari, pulanglah dan tersenyumlah menatap langit kotamu. Masih ada pelangi di langit gorontalo, Uti !
Gorontalo, 21082010.
Minggu, 29 Agustus 2010
Cerita Tentang Aku
Adalah arti hidup yang kukejar di pecah sepi. Rencana terancang sempurna tanpa risaukan terkaman bencana yang selalu mencekam. Tengadah tangan menadah debu-debu angan yang terus berjatuhan dari langit merah. Hendak berbalik pun berbelok langkah, tetapi pelik terlalu mencolok singkirkan kemudahan yang ditawarkan bayang jiwa. Enggan jua hati meniti jejak-jejak terwaris dari kenangan silam. Remang membawa gamang terus menggariskan nasib yang tak pernah lurus meski cahaya telah kuikat ketika fajar menyingsing.
Pada malam menukik subuh tak alpa kurapalkan doa-doa tentang napasku yang telah terjebak di fase kegalauan. Apakah terlalu pekat dosa merimbun di ranting-ranting khilaf ? Namaku tereja kian asing di bibir-bibir penjelajah waktu. Tuturanku menjelma mantra-mantra sesat yang sesaat kilaukan keberhasilan di ladang-ladang usaha. Hanya dengan puisi aku mengisi kehampaan belantara hidup dan menyelaraskan aliran airmata dengan sekeping tawa tiada warna. Elegi harus pergi tinggalkan wangi di tubuh bahasa yang sekian lama menggigil oleh bahana resah kata-kata. Riwayatku tak sudi lagi tersayat haru biru kegagalan diri membaca arah cinta pergi berlabuh.
O, kalian yang mengenalku. Lupakan aku bila cerita ini meretas jalan keliru memahami sebuah deretan aksara. Inilah kesungguhan lenguhan rotasi nasib. Inilah hasrat terakhirku ; melepaskan diri dari belenggu takdir.
Gorontalo, 22042010.